Contoh KI Teologi Sistematik Model APA
Tema artikel: Kristologi dalam Sejarah Gereja. Berdasarkan tema ini dibuat artikel dengan model penulisan dalam arti kutipan atau sitasi dengan cara yang dikemukakan dalam gaya penulisan American Psikology Asosiation (APA) yang dipakai dalam bidang psikologi dan sosial. Dalam hal ini penulisan dalam dunia teologi Kristen juga dapat mengikuti contoh sitasi APA. Berikut contohnya.
Dari segi dogmatis, jika kita berbicara mengenai Kristologi, apalagi dari segi historis, maka peran dan pandangan bapak-bapak Gereja mula-mula sangat menentukan. Puncak dari perkembangan doktrin dalam gereja mula-mula adalah ajaran mengenai Tritunggal. Lahirnya ajaran ini tidak dapat dilepaskan dari pergumulan gereja mengenai Yesus Kristus, yakni ketika gereja berusaha untuk memahami identitas Yesus (M.Waang, 2012: 9).
Pertanyaan utamanya adalah: apakah Yang ilahi yang telah menampakkan diri di bumi dan mempersatukan kembali manusia dengan Allah identik dengan the suprime divine, yang memerintah atas langit dan bumi, atau Ia hanyalah demigod, setengah illah? Kontroversi mengenai pertanyaan ini menguasai hampir seluruh abad ke-4.(Pelikan, 2015:172)
Secara singkat, debat kristologis Bapak-bapak Gereja dapat dijelaskan dalam tiga kategori, seperti ditulis oleh McGrath, antara lain: dua sekolah, dua debat dan dua konsili.
Pertama, dua sekolah: Alexandria (Mesir) dan Antiokhia (Siria). Sekolah yang pertama memberi penekanan kepada keilahian Kristus, kemudian menginterpretasikan keilahian itu sebagai the word becoming incarnate. Ayat kunci dari sekolah ini adalah Yohanis 1:14: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, ...” Peristiwa inkarnasi ditekankan; sebagai akibatnya natal menjadi sebuah perayaan yang penting. Kristologi sekolah Alexandria boleh dibilang bersifat soteriologis. Yesus Kristus adalah Penebus umat manusia. Penebusan berarti “being taken up into the life of God atau being made divine”. Dengan kata lain, penebusan adalah deifikasi. Kristologi sekolah Alexandria dapat disimpulkan sebagai berikut: jika natur manusia hendak diilahikan, maka ia harus disatukan dengan natur ilahi. Allah harus menyatu dengan natur manusia sedemikian rupa sehingga natur manusia dimampukan untuk mendapat bagian dalam kehidupan Allah. Inilah, demikian kata sekolah Alexandria, sesungguhnya apa yang terjadi di dalam dan melalui inkarnasi Anak Allah di dalam Yesus Kristus. Pribadi kedua dalam Tritunggal mengambil natur manusia; dengan demikian menjamin keilahiannya. Dengan kata lain: Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi yang ilahi.
Teolog-teolog sekolah Alexandria memberi penekanan yang kuat terhadap pandangan: Logos mengambil/mengenakan, assume, natur manusia. Merayakan natal berarti merayakan kedatangan Logos ke dalam dunia, dan merayakan pengenaan natur manusia olehnya untuk menebusnya (Haak, 2018: 199).
Pertanyaan yang tentunya muncul di sini adalah bagaimana kedua natur Kristus itu, ilahi dan manusiawi, berhubungan satu dengan yang lain? Menurut Sirilius dari Alexandria, Logos bereksistensi tanpa tubuh sebelum ia menyatu dengan natur manusia; setelah menyatu, hanya ada satu natur: Logos mempersatukan natur manusia dengan diri atau naturnya sendiri. Pertanyaan muncul lagi: natur manusia seperti apa yang dikenakan atau diambil oleh Logos? Atau: sampai pada taraf apakah natur manusia diambil oleh Logos? Jawabannya adalah bahwa Logos mengambil natur manusia sepenuhnya. Jawaban ini memberikan ketidakpuasan kepada Apollinarius, uskup dari Laodekia (Asia Kecil) sekitar tahun 361 (Waang, 2019:9).
Sekolah yang kedua, sekolah Antiokhia, berbeda dengan rivalnya di atas. Salah satu perbedaan yang paling penting adalah konteks. Sekolah Alexandria terutama termotivasi oleh pertimbangan soteriologis dalam Kristologi mereka. Mereka lalu mengambil gagasan deifikasi dari filsafat Yunani, seperti terlihat di atas dalam bagaimana mereka memahami penebusan. Konsentrasi sekolah Antiokhia terarah lebih kepada masalah moral. Di sinilah perbedaannya. Mereka pun kurang bersentuhan dengan filsafat Yunani. Garis besar pemikiran sekolah Antiokhia mengenai identitas Kristus dapat dilihat sebagai berikut: pertama, karena ketidaktaatan, manusia berada dalam status tercemar. Mereka tidak dapat mengeluarkan diri dari ketercemaran ini. Jika penebusan harus terjadi, maka itu harus terjadi atas dasar ketaatan seseorang atas nama manusia. Karena manusia tidak mampu melepaskan diri dari dosa, maka Allah harus turun tangan. Inilah penyebab datangnya Penebus sebagai seseorang yang mempersatukan manusia dengan Allah; dan dengan demikian mengembalikan manusia kepada ketaatan kepada Allah. Kedua, dua natur Kristus dipertahankan: Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati pada saat yang sama. Artinya bahwa Penebus itu memiliki baik natur ilahi maupun manusiawi secara sempurna. Ada hubungan yang sempurna antara kedua natur itu di dalam Kristus. Pandangan ini membuat sekolah Antiokhia dicurigai sebagai menganut ajaran ‘dua anak’, yaitu bahwa Yesus bukanlah satu orang, melainkan dua: manusia dan Allah. Tetapi Nestorius membantah kecurigaan ini. Baginya Kristus adalah nama untuk dua natur itu:
“Kristus tidak dapat dibagi dalam arti bahwa ia adalah Kristus, tetapi ia dua dalam arti bahwa ia adalah Allah dan manusia. Sebagai Anak Ia satu, tetapi ia dua dalam hal mengambil dan diambil. Karena kita tidak mengakui dua Kristus atau dua anak atau only begottens atau Tuhan-Tuhan; juga tidak satu anak atau anak yang lain, juga bukan the first only begotten dan a new only begotten, bukan Kristus yang pertama dan kedua, Kristus yang satu dan yang sama”
Pertanyaannya adalah bagaimana kedua natur ini berhubungan satu sama lain? Alexandria: Logos mengambil/mengenakan natur manusia secara umum;
Antiokhia: Logos mengambil/mengenakan seorang manusia tertentu (Theodorus dari Mopsuestia). Menurut sekolah Antiokhia, hubungan antara kedua natur Kristus itu tidak tercampur. Di dalam Kristus kedua natur itu berhubungan baik satu dengan lain sesuai kehendak Allah. Dengan kata lain kesatuan hipostasis terjadi dalam kehendak Allah. Di sini nampak bahwa Theodorus dari M mengusulkan sebuah persatuan moral dari kedua natur itu.
Ketiga, dua konsili: Nicea (325) dan Chalcedon (451). Konsili Nicea diprakarsai oleh Konstantin, kaisar Kristen yang pertama, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan kristologis yang terjadi di wilayah kekaisarannya. Inilah konsili oikumenis pertama. Nicea, sekarang kota Iznik di Turki, menolok pandangan Arius dengan menekankan bahwa Kristus se-homoousios dengan Bapa (M.T.W, 2019:9) Sampai dengan konsili Nicea, ke-Allah-an Kristus dipersoalkan. Sesudah itu, sampai dengan konsili Chalcedon, kemanusiaan Kristus dan bagaimana hubungan antara kedua natur itu.
Meskipun semua Kristologi yang menyimpang sudah ditolak dalam konsili-konsili sampai dengan Chalcedon, tidak berarti bahwa ajaran-ajaran itu tidak berkembang. Tertium quid-nya Eutychus, misalnya, terus berkembang dalam ajaran monofisit dan monotelit. Apollinarianisme menghasilkan anggapan bahwa natur manusia Kristus bersifat imperosal (anhypostasis). Pandangan ini ditentang oleh Leontius dari Byzantin dengan mengatakan bahwa natur manusia Kristus bersifat inpersonal (enhypostasis). Dalam Gereja Timur pergumulan mengenai hubungan antara kemanusiaan dan keilahian Yesus terus berlanjut. Yohanes dari Damaskus berpendapat bahwa hubungan antara kedua natur ini bersifat terus menerus dan di dalamnya terdapat satu persatuan. Akibat dari persatuan ini adalah pengilahian natur manusia. Allah boleh dibilang menderita dalam daging. Kemanusiaan Kristus selalu berada di bawah kehendak ilahi. Lalu dalam Gereja Barat ada Felix, bishop dari Urgella yang menganut pandangan Adopsianisme.
Perhatikan dalam penulisan di atas, sumber kutipan ditempatkan dalam tubuh teks. Ini berbeda dengan gaya penulisan model Chicago atau model Turabian yang menggunakan footnote (catatan kaki), model APA dapat disebut juga dengan catatan perut. Artinya sumber kutipan ditempatkan dalam teks. Sumber akan ditulis secara lengkap dalam Daftar Pustaka. Penulisan Daftar Pustaka juga berbeda antara APA dan Chicago maupun Turabian, dan juga AMA.
Semoga bermanfaat
Dari segi dogmatis, jika kita berbicara mengenai Kristologi, apalagi dari segi historis, maka peran dan pandangan bapak-bapak Gereja mula-mula sangat menentukan. Puncak dari perkembangan doktrin dalam gereja mula-mula adalah ajaran mengenai Tritunggal. Lahirnya ajaran ini tidak dapat dilepaskan dari pergumulan gereja mengenai Yesus Kristus, yakni ketika gereja berusaha untuk memahami identitas Yesus (M.Waang, 2012: 9).
Pertanyaan utamanya adalah: apakah Yang ilahi yang telah menampakkan diri di bumi dan mempersatukan kembali manusia dengan Allah identik dengan the suprime divine, yang memerintah atas langit dan bumi, atau Ia hanyalah demigod, setengah illah? Kontroversi mengenai pertanyaan ini menguasai hampir seluruh abad ke-4.(Pelikan, 2015:172)
Secara singkat, debat kristologis Bapak-bapak Gereja dapat dijelaskan dalam tiga kategori, seperti ditulis oleh McGrath, antara lain: dua sekolah, dua debat dan dua konsili.
Pertama, dua sekolah: Alexandria (Mesir) dan Antiokhia (Siria). Sekolah yang pertama memberi penekanan kepada keilahian Kristus, kemudian menginterpretasikan keilahian itu sebagai the word becoming incarnate. Ayat kunci dari sekolah ini adalah Yohanis 1:14: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, ...” Peristiwa inkarnasi ditekankan; sebagai akibatnya natal menjadi sebuah perayaan yang penting. Kristologi sekolah Alexandria boleh dibilang bersifat soteriologis. Yesus Kristus adalah Penebus umat manusia. Penebusan berarti “being taken up into the life of God atau being made divine”. Dengan kata lain, penebusan adalah deifikasi. Kristologi sekolah Alexandria dapat disimpulkan sebagai berikut: jika natur manusia hendak diilahikan, maka ia harus disatukan dengan natur ilahi. Allah harus menyatu dengan natur manusia sedemikian rupa sehingga natur manusia dimampukan untuk mendapat bagian dalam kehidupan Allah. Inilah, demikian kata sekolah Alexandria, sesungguhnya apa yang terjadi di dalam dan melalui inkarnasi Anak Allah di dalam Yesus Kristus. Pribadi kedua dalam Tritunggal mengambil natur manusia; dengan demikian menjamin keilahiannya. Dengan kata lain: Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi yang ilahi.
Teolog-teolog sekolah Alexandria memberi penekanan yang kuat terhadap pandangan: Logos mengambil/mengenakan, assume, natur manusia. Merayakan natal berarti merayakan kedatangan Logos ke dalam dunia, dan merayakan pengenaan natur manusia olehnya untuk menebusnya (Haak, 2018: 199).
Pertanyaan yang tentunya muncul di sini adalah bagaimana kedua natur Kristus itu, ilahi dan manusiawi, berhubungan satu dengan yang lain? Menurut Sirilius dari Alexandria, Logos bereksistensi tanpa tubuh sebelum ia menyatu dengan natur manusia; setelah menyatu, hanya ada satu natur: Logos mempersatukan natur manusia dengan diri atau naturnya sendiri. Pertanyaan muncul lagi: natur manusia seperti apa yang dikenakan atau diambil oleh Logos? Atau: sampai pada taraf apakah natur manusia diambil oleh Logos? Jawabannya adalah bahwa Logos mengambil natur manusia sepenuhnya. Jawaban ini memberikan ketidakpuasan kepada Apollinarius, uskup dari Laodekia (Asia Kecil) sekitar tahun 361 (Waang, 2019:9).
Sekolah yang kedua, sekolah Antiokhia, berbeda dengan rivalnya di atas. Salah satu perbedaan yang paling penting adalah konteks. Sekolah Alexandria terutama termotivasi oleh pertimbangan soteriologis dalam Kristologi mereka. Mereka lalu mengambil gagasan deifikasi dari filsafat Yunani, seperti terlihat di atas dalam bagaimana mereka memahami penebusan. Konsentrasi sekolah Antiokhia terarah lebih kepada masalah moral. Di sinilah perbedaannya. Mereka pun kurang bersentuhan dengan filsafat Yunani. Garis besar pemikiran sekolah Antiokhia mengenai identitas Kristus dapat dilihat sebagai berikut: pertama, karena ketidaktaatan, manusia berada dalam status tercemar. Mereka tidak dapat mengeluarkan diri dari ketercemaran ini. Jika penebusan harus terjadi, maka itu harus terjadi atas dasar ketaatan seseorang atas nama manusia. Karena manusia tidak mampu melepaskan diri dari dosa, maka Allah harus turun tangan. Inilah penyebab datangnya Penebus sebagai seseorang yang mempersatukan manusia dengan Allah; dan dengan demikian mengembalikan manusia kepada ketaatan kepada Allah. Kedua, dua natur Kristus dipertahankan: Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati pada saat yang sama. Artinya bahwa Penebus itu memiliki baik natur ilahi maupun manusiawi secara sempurna. Ada hubungan yang sempurna antara kedua natur itu di dalam Kristus. Pandangan ini membuat sekolah Antiokhia dicurigai sebagai menganut ajaran ‘dua anak’, yaitu bahwa Yesus bukanlah satu orang, melainkan dua: manusia dan Allah. Tetapi Nestorius membantah kecurigaan ini. Baginya Kristus adalah nama untuk dua natur itu:
“Kristus tidak dapat dibagi dalam arti bahwa ia adalah Kristus, tetapi ia dua dalam arti bahwa ia adalah Allah dan manusia. Sebagai Anak Ia satu, tetapi ia dua dalam hal mengambil dan diambil. Karena kita tidak mengakui dua Kristus atau dua anak atau only begottens atau Tuhan-Tuhan; juga tidak satu anak atau anak yang lain, juga bukan the first only begotten dan a new only begotten, bukan Kristus yang pertama dan kedua, Kristus yang satu dan yang sama”
Pertanyaannya adalah bagaimana kedua natur ini berhubungan satu sama lain? Alexandria: Logos mengambil/mengenakan natur manusia secara umum;
Antiokhia: Logos mengambil/mengenakan seorang manusia tertentu (Theodorus dari Mopsuestia). Menurut sekolah Antiokhia, hubungan antara kedua natur Kristus itu tidak tercampur. Di dalam Kristus kedua natur itu berhubungan baik satu dengan lain sesuai kehendak Allah. Dengan kata lain kesatuan hipostasis terjadi dalam kehendak Allah. Di sini nampak bahwa Theodorus dari M mengusulkan sebuah persatuan moral dari kedua natur itu.
Ketiga, dua konsili: Nicea (325) dan Chalcedon (451). Konsili Nicea diprakarsai oleh Konstantin, kaisar Kristen yang pertama, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan kristologis yang terjadi di wilayah kekaisarannya. Inilah konsili oikumenis pertama. Nicea, sekarang kota Iznik di Turki, menolok pandangan Arius dengan menekankan bahwa Kristus se-homoousios dengan Bapa (M.T.W, 2019:9) Sampai dengan konsili Nicea, ke-Allah-an Kristus dipersoalkan. Sesudah itu, sampai dengan konsili Chalcedon, kemanusiaan Kristus dan bagaimana hubungan antara kedua natur itu.
Meskipun semua Kristologi yang menyimpang sudah ditolak dalam konsili-konsili sampai dengan Chalcedon, tidak berarti bahwa ajaran-ajaran itu tidak berkembang. Tertium quid-nya Eutychus, misalnya, terus berkembang dalam ajaran monofisit dan monotelit. Apollinarianisme menghasilkan anggapan bahwa natur manusia Kristus bersifat imperosal (anhypostasis). Pandangan ini ditentang oleh Leontius dari Byzantin dengan mengatakan bahwa natur manusia Kristus bersifat inpersonal (enhypostasis). Dalam Gereja Timur pergumulan mengenai hubungan antara kemanusiaan dan keilahian Yesus terus berlanjut. Yohanes dari Damaskus berpendapat bahwa hubungan antara kedua natur ini bersifat terus menerus dan di dalamnya terdapat satu persatuan. Akibat dari persatuan ini adalah pengilahian natur manusia. Allah boleh dibilang menderita dalam daging. Kemanusiaan Kristus selalu berada di bawah kehendak ilahi. Lalu dalam Gereja Barat ada Felix, bishop dari Urgella yang menganut pandangan Adopsianisme.
Perhatikan dalam penulisan di atas, sumber kutipan ditempatkan dalam tubuh teks. Ini berbeda dengan gaya penulisan model Chicago atau model Turabian yang menggunakan footnote (catatan kaki), model APA dapat disebut juga dengan catatan perut. Artinya sumber kutipan ditempatkan dalam teks. Sumber akan ditulis secara lengkap dalam Daftar Pustaka. Penulisan Daftar Pustaka juga berbeda antara APA dan Chicago maupun Turabian, dan juga AMA.
Semoga bermanfaat
0 Response to "Contoh KI Teologi Sistematik Model APA "
Post a Comment