Sitasi Ibadah Jemaat Mula-mula dalam Format APA
Ibadah dalam Jemaat Mula-Mula.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (PB), menjelaskan bagaimana persekutuan orang-orang percaya terjalin dan terbentuk berdasarkan kematian dan kebangkitan Kristus. Pada mulanya ibadah dalam Perjanjian Baru, Yesus selalu berada bersama-sama dengan murid-murid-Nya mengadakan pertemuan dan melakukan pengajaran-pengajaran kepada mereka.
Ketika Yesus harus meninggalkan murid-murid dan semua orang yang mengikut-Nya, Menurut kesaksian Alkitab dalam Kisah Para Rasul 1:8 menyatakan bahwa “tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun keatas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Neti (2013:27) bahwa “kesaksian gereja atau jemaat berlaku dengan beberapa cara, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan”. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa, setiap orang percaya dapat bersaksi mengagungkan nama Tuhan tidak hanya melalui pemberitaan Firman Tuhan, melainkan dengan kesaksian pengalaman imannya dengan Tuhan, bagaimana Tuhan menjawab doanya melalui pergumulan-pergumulan hidup yang dihadapinya.
Dari kutipan ayat dalam Kisah Para Rasul tersebut mengungkapkan suatu makna bahwa setelah Yesus ke surga, Ia mengutus suatu pribadi menggantikan posisinya diantara murid-murid dan pengikut-Nya yaitu Roh Kudus. Roh Kudus sebagai penolong bagi murid-murid-Nya untuk bersaksi dan menyampaikan Injil Yesus Kristus.
Kisah Para Rasul 2:41-42 mengatakan bahwa “orang-orang yang menerima perkataan-Nya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.
Pengertian dari ayat tersebut adalah ketika kita mau menerima setiap ajaaran dan perkataan Yesus dengan hati kita, maka kita tidak saja menjalin hubungan intim dengan Tuhan melainkan kita bisa menjalin suatu persekutuan dan hubungan yang baik dengan sesama, sehingga setiap pengajaran Kristus yang kita impartasikan kepada orang lain dapat dan bisa menjadi kesaksian yang hidup bagi orang lain juga.
Roh Kudus sebagai penolong serta penghibur memberikan kekuatan kepada murid-murid untuk memberitakan Injil dimana saja mereka berada, sehingga persekutuan semakin hari semakin banyak dan jumlah merekapun semakin banyak dari setiap tempat yang mereka kunjungi.
Dalam ibadah jemaat mula-mula, selalu berpusat pada perjamuan kasih atau perjamuan makan bersama, hal ini dapat kita lihat pada Markus 14:22-25 yang mana disetiap akhir pertemuan Yesus dan murid-murid-Nya ada jamuan makan malam bersama yang kemudian disertai juga dengan doa syukur dan puji-pujian.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Yesus tidak hanya sekedar memberi makanan rohani berupa pengajaran-pengajaran-Nya kepada murid-murid-Nya, melainkan juga memperhatikan hubungan persekutuan, bukan saja antara Yesus dan murid-murid-Nya melainkan juga hubungan persekutuan antara murid yang satu dengan lainnya, sehingga terjalin suatu ikatan persekutuan yang erat diantara mereka.
Pernyataan di atas dipertegas oleh O’carm (2003:100), bahwa “kesan pertama kalau melihat tata ibadah atau liturgi adalah adanya kesatuan ritus-ritus, rumusan-rumusan doa, dan gerak-gerik (sikap badan), yang tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk ibadah non-Kristen. Sejalan dengan hal tersebut, hal pertama yang perlu diingat adalah bahwa jangan berpikir tentang susunan ritus sebagai identik dengan liturgi. Pengagunggan kita terhadap liturgi tidak boleh terlepas dengan ekspresi kita didalam menjalankan ibadah seperti, gerak tubuh, memuji Tuhan dengan hati, serta bersaksi akan kasih Tuhan dalam hidup kita, sehingga ibadah yang kita jalankan bisa memberikan dampak yang baik dalam pertumbuhan iman dan dalam hal kedekatan kita dengan Allah serta hubungan kita dengan sesama.
Sebagaimana uraian diatas yang mengemukakan mengenai ibadah harus relevan sesuai dengan konteks jemaat yang ada, maka dalam penyusunan tata ibadah yang kita buat tidak hanya menekankan aspek kognitif (pengetahuan) saja,melainkan aspek afektif (emosi, perasaan), serta aspek psikomotorik (ekspresi gerak-gerik tubuh) perlu untuk mendapat perhatian juga.
Kontekstualisasi tata ibadah yang perlu dilakukan adalah hubungan ibadah dengan kehidupan manusia yang melaksanakan ibadah. Jika tata ibadahnya terlalu kaku dan statis, sudah barang tentu menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan ibadah. Kehadiran Kristus dalam ibadah memang ada namun pemaknaan terhadap isi ibadah itu kadang kala terhalang oleh karena tata ibadah yang membosankan atau terlalu statis. Tata ibadah yang diterima dari warisan gereja-gereja barat kelihatannya membuat umat semakin hari semakin tidak puas. Salah satu dampak dari ketidak puasan terhadap tata ibadah yang statis, ada yang lebih memilih pindah aliran.
Oleh karena itu gereja perlu menata diri dalam berbagai hal dan salah satunya adalah pembaharuan dalam tata ibadah. Pembaharuan tata ibadah ini untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgi baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman yang ada, agar ibadah yang dilakukan tidak sekedar memberikan sumbangan pembelajaran pada aspek kognitif semata melainkan juga menekankan pada aspek afektif dan psikomotorik dari jemaat yang dilayani dan tentunya memiliki perhatian pada konteks budaya, bahasa, tingkat pendidikan, tingkatan usia, dan lain-lain.
Misalnya dalam tata ibadah jemaat mula-mula setelah ibadah mereka memecahkan roti an makan bersama. Kemudian mengalami perubahan sehingga tata ibadah tersebut dikontekstualisasikan dengan kehidupan umat selanjutnya. Jemaat mula-mula pada Perjanjian Baru seperti yang terurai dari pembahasan sebelumnya, ditemukan bahwa masih ada kekurangan yang mesti dibenahi dalam pelaksanaan penyusunan liturgi tata ibadah yang kontekstual.
Dalam ibadah jemaat mula-mula dapat terlihat bagaimana hubungan Yesus dan murd-murid-Nya begitu akrab, tidak kaku dan terikat pada liturgi yang telah dicetak diatas kertas. Sebagai tubuh Kristus dalam tiap ibadah, anggota-anggota harus dibangunkan dalam imannya (I Korintus 14:12). Dimana Roh Kudus ada, disitu ada kebebasan (II Korintus 3:17).
Sejalan dengan hal tersebut dalam kitab Galatia 1:1 menegaskan bahwa “supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita, karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”. Hal tersebut dapat dipahami bahwa kita harus bebas dalam ibadah kita, termasuk bertepuk tangan dan pemakaian alat musik lengkap seperti keyboard tunggal atau grup band. Tetapi kemerdekaan itu tidak boleh disalahgunakan, artinya bahwa tidak boleh ada kekacauan, tetapi semua berjalan dengan sopan dan teratur. Hal tersebut seperti yang terdapat dalam kitab Galatia 5:25-26 yang menyatakan bahwa jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa kita bebas berekspresi dalam menjalankan ibadah kita seperti memuji Tuhan dengan berdiri, bertepuk tangan, bersujud, mengangkat tangan, bergandengan tangan dan lain sebagainya.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (PB), menjelaskan bagaimana persekutuan orang-orang percaya terjalin dan terbentuk berdasarkan kematian dan kebangkitan Kristus. Pada mulanya ibadah dalam Perjanjian Baru, Yesus selalu berada bersama-sama dengan murid-murid-Nya mengadakan pertemuan dan melakukan pengajaran-pengajaran kepada mereka.
Ketika Yesus harus meninggalkan murid-murid dan semua orang yang mengikut-Nya, Menurut kesaksian Alkitab dalam Kisah Para Rasul 1:8 menyatakan bahwa “tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun keatas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Neti (2013:27) bahwa “kesaksian gereja atau jemaat berlaku dengan beberapa cara, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan”. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa, setiap orang percaya dapat bersaksi mengagungkan nama Tuhan tidak hanya melalui pemberitaan Firman Tuhan, melainkan dengan kesaksian pengalaman imannya dengan Tuhan, bagaimana Tuhan menjawab doanya melalui pergumulan-pergumulan hidup yang dihadapinya.
Dari kutipan ayat dalam Kisah Para Rasul tersebut mengungkapkan suatu makna bahwa setelah Yesus ke surga, Ia mengutus suatu pribadi menggantikan posisinya diantara murid-murid dan pengikut-Nya yaitu Roh Kudus. Roh Kudus sebagai penolong bagi murid-murid-Nya untuk bersaksi dan menyampaikan Injil Yesus Kristus.
Kisah Para Rasul 2:41-42 mengatakan bahwa “orang-orang yang menerima perkataan-Nya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.
Pengertian dari ayat tersebut adalah ketika kita mau menerima setiap ajaaran dan perkataan Yesus dengan hati kita, maka kita tidak saja menjalin hubungan intim dengan Tuhan melainkan kita bisa menjalin suatu persekutuan dan hubungan yang baik dengan sesama, sehingga setiap pengajaran Kristus yang kita impartasikan kepada orang lain dapat dan bisa menjadi kesaksian yang hidup bagi orang lain juga.
Roh Kudus sebagai penolong serta penghibur memberikan kekuatan kepada murid-murid untuk memberitakan Injil dimana saja mereka berada, sehingga persekutuan semakin hari semakin banyak dan jumlah merekapun semakin banyak dari setiap tempat yang mereka kunjungi.
Dalam ibadah jemaat mula-mula, selalu berpusat pada perjamuan kasih atau perjamuan makan bersama, hal ini dapat kita lihat pada Markus 14:22-25 yang mana disetiap akhir pertemuan Yesus dan murid-murid-Nya ada jamuan makan malam bersama yang kemudian disertai juga dengan doa syukur dan puji-pujian.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Yesus tidak hanya sekedar memberi makanan rohani berupa pengajaran-pengajaran-Nya kepada murid-murid-Nya, melainkan juga memperhatikan hubungan persekutuan, bukan saja antara Yesus dan murid-murid-Nya melainkan juga hubungan persekutuan antara murid yang satu dengan lainnya, sehingga terjalin suatu ikatan persekutuan yang erat diantara mereka.
Pernyataan di atas dipertegas oleh O’carm (2003:100), bahwa “kesan pertama kalau melihat tata ibadah atau liturgi adalah adanya kesatuan ritus-ritus, rumusan-rumusan doa, dan gerak-gerik (sikap badan), yang tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk ibadah non-Kristen. Sejalan dengan hal tersebut, hal pertama yang perlu diingat adalah bahwa jangan berpikir tentang susunan ritus sebagai identik dengan liturgi. Pengagunggan kita terhadap liturgi tidak boleh terlepas dengan ekspresi kita didalam menjalankan ibadah seperti, gerak tubuh, memuji Tuhan dengan hati, serta bersaksi akan kasih Tuhan dalam hidup kita, sehingga ibadah yang kita jalankan bisa memberikan dampak yang baik dalam pertumbuhan iman dan dalam hal kedekatan kita dengan Allah serta hubungan kita dengan sesama.
Sebagaimana uraian diatas yang mengemukakan mengenai ibadah harus relevan sesuai dengan konteks jemaat yang ada, maka dalam penyusunan tata ibadah yang kita buat tidak hanya menekankan aspek kognitif (pengetahuan) saja,melainkan aspek afektif (emosi, perasaan), serta aspek psikomotorik (ekspresi gerak-gerik tubuh) perlu untuk mendapat perhatian juga.
Kontekstualisasi tata ibadah yang perlu dilakukan adalah hubungan ibadah dengan kehidupan manusia yang melaksanakan ibadah. Jika tata ibadahnya terlalu kaku dan statis, sudah barang tentu menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan ibadah. Kehadiran Kristus dalam ibadah memang ada namun pemaknaan terhadap isi ibadah itu kadang kala terhalang oleh karena tata ibadah yang membosankan atau terlalu statis. Tata ibadah yang diterima dari warisan gereja-gereja barat kelihatannya membuat umat semakin hari semakin tidak puas. Salah satu dampak dari ketidak puasan terhadap tata ibadah yang statis, ada yang lebih memilih pindah aliran.
Oleh karena itu gereja perlu menata diri dalam berbagai hal dan salah satunya adalah pembaharuan dalam tata ibadah. Pembaharuan tata ibadah ini untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgi baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman yang ada, agar ibadah yang dilakukan tidak sekedar memberikan sumbangan pembelajaran pada aspek kognitif semata melainkan juga menekankan pada aspek afektif dan psikomotorik dari jemaat yang dilayani dan tentunya memiliki perhatian pada konteks budaya, bahasa, tingkat pendidikan, tingkatan usia, dan lain-lain.
Misalnya dalam tata ibadah jemaat mula-mula setelah ibadah mereka memecahkan roti an makan bersama. Kemudian mengalami perubahan sehingga tata ibadah tersebut dikontekstualisasikan dengan kehidupan umat selanjutnya. Jemaat mula-mula pada Perjanjian Baru seperti yang terurai dari pembahasan sebelumnya, ditemukan bahwa masih ada kekurangan yang mesti dibenahi dalam pelaksanaan penyusunan liturgi tata ibadah yang kontekstual.
Dalam ibadah jemaat mula-mula dapat terlihat bagaimana hubungan Yesus dan murd-murid-Nya begitu akrab, tidak kaku dan terikat pada liturgi yang telah dicetak diatas kertas. Sebagai tubuh Kristus dalam tiap ibadah, anggota-anggota harus dibangunkan dalam imannya (I Korintus 14:12). Dimana Roh Kudus ada, disitu ada kebebasan (II Korintus 3:17).
Sejalan dengan hal tersebut dalam kitab Galatia 1:1 menegaskan bahwa “supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita, karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”. Hal tersebut dapat dipahami bahwa kita harus bebas dalam ibadah kita, termasuk bertepuk tangan dan pemakaian alat musik lengkap seperti keyboard tunggal atau grup band. Tetapi kemerdekaan itu tidak boleh disalahgunakan, artinya bahwa tidak boleh ada kekacauan, tetapi semua berjalan dengan sopan dan teratur. Hal tersebut seperti yang terdapat dalam kitab Galatia 5:25-26 yang menyatakan bahwa jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa kita bebas berekspresi dalam menjalankan ibadah kita seperti memuji Tuhan dengan berdiri, bertepuk tangan, bersujud, mengangkat tangan, bergandengan tangan dan lain sebagainya.
0 Response to "Sitasi Ibadah Jemaat Mula-mula dalam Format APA "
Post a Comment